Ketika kita membaca kalimat diatas maka didalam hati kita sudah tersirat bahwa kalimat ini akan langsung membuat alergi bagi sebagian kelompok muslimin, saya akan meringkas penjelasannya secara ‘Aqlan wa syar’an, (logika dan syariah). Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu yang membuat mereka gembira, apakah keberhasilan, kemenangan, kekayaan atau lainnya, mereka merayakannya dengan pesta, mabuk mabukan, berjoget bersama, wayang, lenong atau bentuk pelampiasan kegembiraan lainnya, demikian adat istiadat diseluruh dunia. Sampai disini saya jelaskan dulu bagaimana kegembiraan atas kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah merayakan hari kelahiran para Nabi Nya
Firman Allah : “(Isa berkata dari dalam perut ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari kelahiranku, dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan” (QS Maryam 33)
Firman Allah : “Salam Sejahtera dari kami (untuk Yahya as) dihari kelahirannya, dan hari wafatnya dan hari ia dibangkitkan” (QS Maryam 15) Rasul saw lahir dengan keadaan sudah dikhitan (Al Mustadrak ala Shahihain hadits no.4177)
Berkata Utsman bin Abil Ash Asstaqafiy dari ibunya yang menjadi pembantunya Aminah radhiyallahu anha bunda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika Bunda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mulai saat saat melahirkan, ia (ibu Utsman) melihat bintang bintang mendekat hingga ia takut berjatuhan diatas kepalanya, lalu ia melihat cahaya terang benderang keluar dari Bunda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga membuat terang benderangnya kamar dan rumah (Fathul Bari Al Masyhur juz 6 hal 583)
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lahir kemuka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam). Riwayat shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat melahirkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat cahaya yang terang benderang hingga pandangannya menembus dan melihat Istana Istana Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)
Malam kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14 buah jendela besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yang 1000 tahun tak pernah padam. (Fathul Bari Al Masyhur juz 6 hal 583). Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala?, kejadian kejadian besar ini muncul menandakan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan Allah subhanahu wa ta’ala telah merayakan kelahiran Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Alam ini, sebagaimana Dia subhanahu wa ta’ala telah pula membuat salam sejahtera pada kelahiran Nabi nabi sebelumnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memuliakan hari kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Itu adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits no.1162). dari hadits ini sebagian saudara2 kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam asal dengan puasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jelas jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tak menjawab misalnya : “oh puasa hari senin itu mulia dan boleh boleh saja..”, namun beliau bersabda : “itu adalah hari kelahiranku”, menunjukkan bagi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam hari kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ada nilai tambah dari hari hari lainnya. Contoh mudah misalnya zeyd bertanya pada amir : “bagaimana kalau kita berangkat umroh pada 1 Januari?”, maka amir menjawab : “oh itu hari kelahiran saya”. Nah.. bukankah jelas jelas bahwa zeyd memahami bahwa 1 januari adalah hari yang berbeda dari hari hari lainnya bagi amir?, dan amir menyatakan dengan jelas bahwa 1 januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yang perhatian pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dengan hari kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut nyebut bahwa 1 januari adalah hari kelahirannya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tak memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya, pertanyaan sahabat ini berbeda maksud dengan jawaban beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang lebih luas dari sekedar pertanyaannya, sebagaimana contoh diatas, Amir tak mmerintahkan umroh pada 1 januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yang berpendapat bahwa boleh merayakan maulid hanya dengan puasa saja maka tentunya dari dangkalnya pemahaman terhadap ilmu bahasa.
Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak?, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab : hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ada nilai tambah pada pribadi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu. Maka jelaslah sudah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk yang perhatian pada hari kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam.
Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Berkata Abbas bin Abdulmuttalib radhiyallahu anhu : “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, maka Abbas radhiyallahu anhu memuji dengan syair yang panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala Shahihain hadits no.5417)
Kasih sayang Allah atas kafir yang gembira atas kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Mutthalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan Abbas bertanya padanya : “bagaimana keadaanmu?”, Abu Lahab menjawab : “dineraka, Cuma diringankan siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) ” (Shahih Bukhari hadits no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.13701, Syi’bul Iman no.281, Fathul Baari Al Masyhur juz 11 hal 431). Walaupun kafir terjahat ini dibantai di alam barzakh, namun tentunya Allah berhak menambah siksanya atau menguranginya menurut kehendak Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah menguranginya setiap hari senin karena telah gembira dengan kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membebaskan budaknya.
Walaupun mimpi tak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun
mimpi dapat dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah dan lainnya, misalnya mimpi orang kafir atas kebangkitan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas kebangkitan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Imam Imam diatas yang meriwayatkan hal itu tentunya menjadi hujjah bagi kita bahwa hal itu benar adanya, karena diakui oleh Imam Imam dan mereka tak mengingkarinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperbolehkan Syair pujian di masjid Hassan bin Tsabit radhiyallahu anhu membaca syair di Masjid Nabawiy yang lalu ditegur oleh Umar radhiyallahu anhu, lalu Hassan berkata : “aku sudah baca syair nasyidah disini dihadapan orang yang lebih mulia dari engkau wahai Umar (yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), lalu Hassan berpaling pada Abu Hurairah radhiyallahu anhu dan berkata : “bukankah kau dengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab syairku dengan doa : wahai Allah bantulah ia dengan ruhulqudus?, maka Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata : “betul” (shahih Bukhari hadits no.3040, Shahih Muslim hadits no.2485)
Ini menunjukkan bahwa pembacaan Syair di masjid tidak semuanya haram, sebagaimana beberapa hadits shahih yang menjelaskan larangan syair di masjid, namun jelaslah bahwa yang dilarang adalah syair syair yang membawa pada Ghaflah, pada keduniawian, namun syair syair yang memuji Allah dan Rasul Nya maka hal itu diperbolehkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan dipuji dan didoakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana riwayat diatas, dan masih banyak riwayat lain sebagaimana dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendirikan mimbar khusus untuk hassan bin tsabit di masjid agar ia berdiri untuk melantunkan syair syairnya (Mustadrak ala Shahihain hadits no.6058, Sunan At Tirmidzi hadits no.2846) oleh Aisyah radhiyallahu anha, bahwa ketika ada beberapa sahabat yang mengecam Hassan bin Tsabit radhiyallahu anhu, maka Aisyah radhiyallahu anha berkata : “Jangan kalian caci Hassan, sungguh ia itu selalu membanggakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”(Musnad Abu Ya’la Juz 8 hal 337).
Pendapat Para Imam dan Muhaddits atas perayaan Maulid
1. Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah :
Telah jelas dan kuat riwayat yang sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yang berpuasa hari Asyura (10 Muharram), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya maka mereka berkata : “hari ini hari ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah subhanahu wa ta’ala, maka bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “kita lebih berhak atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yang diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dengan pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Al Qur’an, maka nikmat apalagi yang melebihi kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman Allah subhanahu wa ta’ala “SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN ANUGERAH PADA ORANG ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA RASUL DARI MEREKA” (QS Al Imran 164)
2. Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin As Suyuthi rahimahullah :
Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berakikah untuk dirinya setelah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis no.1832 dengan sanad shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300), dan telah diriwayatkan bahwa telah ber Akikah untuknya kakeknya Abdul Muttalib saat usia beliau shallallahu ‘alaihi wasallam 7 tahun, dan akikah tak mungkin diperbuat dua kali, maka jelaslah bahwa akikah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang telah membangkitkan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan membawa Syariah utk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengumpulkan teman teman dan saudara saudara, menjamu dengan makanan makanan dan yang serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. Bbahkan Imam As Suyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid dengan nama : “Husnulmaqshad fii ‘amalilmaulid”.
3. Pendapat Imam Al Hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) : Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan membangkitkan rasa cinta pada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, dan bersyukur kepada Allah dengan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
4. Pendapat Imamul Qurra’ Al Hafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif. Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu?, ia menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (shallallahu ‘alaihi wasallam)” (shahih Bukhari). Maka apabila Abu Lahab Kafir yang Al Qur’an turun mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka bagaimana dengan muslim ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang gembira atas kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?, maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh sungguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya.
5. Pendapat Imam Al Hafidh Syamsuddin bin Nashiruddin Ad Dimasyqiy dalam kitabnya Mauridusshaadiy fii maulidil Haadiy : Serupa dengan ucapan Imamul Qurra’ Al Hafidh Syamsuddin Aljuzri, yaitu menukil hadits Abu Lahab
6. Pendapat Imam Al Hafidh As Sakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah. Berkata ”tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat Islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pada malamnya dengan berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yang sangat besar”.
7. Imam Al Hafidh Ibn Abidin rahimahullah. Dalam syarahnya maulid Ibn Hajar berkata : ”ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”
8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah. Dengan karangan maulidnya yang terkenal ”al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, ”Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakannya”.
9. Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah. Dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al Maktab al Islami berkata: ”Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hari besar”.
10. Imam Al hafidh Al Muhaddis Abul Khattab Umar bin Ali bin Muhammad yang terkenal dengan Ibn Dihyah al Kalbi Dengan karangan maulidnya yang bernama ”Attanwir fi maulid basyir an nadzir”
11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri. Dengan maulidnya ”urfu at ta’rif bi maulid assyarif”
12. Imam al Hafidh Ibn Katsir. Yang karangan kitab maulidnya dikenal dengan nama : ”maulid ibn katsir”
13. Imam Al Hafidh Al ’Iraqy. Dengan maulidnya ”maurid al hana fi maulid assana”
14. Imam Al Hafidh Nasruddin Ad Dimasyqiy. Telah mengarang beberapa maulid : Jaami’ al astar fi maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al lafad arra’iq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi maulid al hadi.
15. Imam as Syakhawiy. Dengan maulidnya al fajr al ulwi fi maulid an nabawi.
16. Al Allamah al Faqih Ali Zainal Abidin As Syamhudi. Dengan maulidnya al mawarid al haniah fi maulid khairil bariyyah
17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As Syaibaniy yang terkenal dengan ibn diba’ Dengan maulidnya ad diba’i
18. Imam ibn Hajar al Haitsami. Dengan maulidnya itmam anni’mah alal alam bi maulid syayidi waladu adam.
19. Imam Ibrahim Baajuri. Mengarang hasiah atas maulid ibn hajar dengan nama tuhfa al basyar ala maulid ibn Hajar
20. Al Allamah Ali Al Qari’. Dengan maulidnya maurud arrowi fi maulid nabawi
21. Al Allamah al Muhaddits Ja’far bin Hasan Al barzanji. Dengan maulidnya yang terkenal maulid barzanji
23. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Jakfar al Kattani. Dengan maulid Al yaman wal is’ad bi maulid khair al ibad
24. Al Allamah Syeikh Yusuf bin ismail An Nabhaniy. Dengan maulid jawahir an nadmu al badi’ fi maulid as syafi’
25. Imam Ibrahim Assyaibaniy. Dengan maulid al maulid mustofa adnaani
26. Imam Abdulghaniy Annanablisiy. Dengan maulid Al Alam Al Ahmadi fi maulid muhammadi”
27. Syihabuddin Al Halwani. Dengan maulid fath al latif fi syarah maulid assyarif
28. Imam Ahmad bin Muhammad Addimyati. Dengan maulid Al Kaukab al azhar alal ‘iqdu al jauhar fi maulid nadi al azhar
29. Asy Syeikh Ali At Tanthowiy. Dengan maulid nur as shofa’ fi maulid al mustofa
30. As Syeikh Muhammad Al Maghribi. Dengan maulid at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah. Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yang menentang dan melarang hal ini, mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yang menentang maulid sebagaimana disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya menggunting dan memotong ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yang jelas jelas meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam.
Berdiri saat Mahal Qiyam dalam pembacaan Maulid Mengenai berdiri saat maulid ini, merupakan Qiyas dari menyambut kedatangan Islam dan Syariah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, dan menunjukkan semangat atas kedatangan sang pembawa risalah pada kehidupan kita, hal ini lumrah saja, sebagaimana penghormatan yang dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah berdiri, sebagaimana diriwayatkan ketika sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu anhu datang maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada kaum anshar : “Berdirilah untuk tuan kalian” (shahih Bukhari hadits no.2878, Shahih Muslim hadits no.1768), demikian pula berdirinya Thalhah radhiyallahu anhu untuk Ka’b bin Malik radhiyallahu anhu. Memang mengenai berdiri penghormatan ini ada ikhtilaf ulama, sebagaimana yang dijelaskan bahwa berkata Imam Al Khattabiy bahwa berdirinya bawahan untuk majikannya, juga berdirinya murid untuk kedatangan gurunya, dan berdiri untuk kedatangan Imam yang adil dan yang semacamnya merupakan hal yang baik, dan berkata Imam Bukhari bahwa yang dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yang duduk, dan Imam Nawawi yang berpendapat bila berdiri untuk penghargaan maka tak apa apa, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri untuk kedatangan putrinya Fathimah radhiyallahu anha saat ia datang, namun adapula pendapat lain yang melarang berdiri untuk penghormatan.(Rujuk Fathul Baari Al Masyhur Juz 11 dan Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim juz 12 hal 93)
Namun dari semua pendapat itu, tentulah berdiri saat mahal qiyam dalam membaca maulid itu tak ada hubungan apa apa dengan semua perselisihan itu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak dhohir dalam pembacaan maulid itu, lepas dari anggapan ruh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hadir saat pembacaan maulid, itu bukan pembahasan kita, masalah seperti itu adalah masalah ghaib yang tak bisa disyarahkan dengan hukum dhohir, semua ucapan diatas adalah perbedaan pendapat mengenai berdiri penghormatan yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melarang agar sahabat tak berdiri untuk memuliakan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Jauh berbeda bila kita yang berdiri penghormatan mengingat jasa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, tak terikat dengan beliau hadir atau tidak, bahwa berdiri kita adalah bentuk semangat kita menyambut risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan penghormatan kita kepada kedatangan Islam, dan kerinduan kita pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana kita bersalam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setiap kita shalat pun kita tak melihat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Diriwayatkan bahwa Imam Al Hafidh Taqiyuddin As Subkiy rahimahullah, seorang Imam Besar dan terkemuka dizamannya bahwa ia berkumpul bersama para Muhaddits dan Imam Imam besar dizamannya dalam perkumpulan yang padanya dibacakan puji pujian untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu diantara syair syair itu merekapun seraya berdiri termasuk Imam As Subkiy dan seluruh Imam imam yang hadir bersamanya, dan didapatkan kesejukan yang luhur dan cukuplah perbuatan mereka itu sebagai panutan, dan berkata Imam Ibn Hajar Al Haitsamiy rahimahullah bahwa Bid’ah hasanah sudah menjadi kesepakatan para Imam bahwa itu merupakan hal yang sunnah, (berlandaskan hadist Shahih Muslim no.1017 yang terncantum pada Bab Bid’ah) yaitu bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, dan mengadakan maulid itu adalah salah satu Bid’ah hasanah,
Dan berkata pula Imam As Sakhawiy rahimahullah bahwa mulai abad ketiga hijriyah mulailah hal ini dirayakan dengan banyak sedekah dan perayaan agung ini diseluruh dunia dan membawa keberkahan bagi mereka yang mengadakannya. (Sirah Al Halabiyah Juz 1 hal 137). Pada hakekatnya, perayaan maulid ini bertujuan mengumpulkan muslimin untuk Medan Tablig dan bersilaturahmi sekaligus mendengarkan ceramah islami yang diselingi bershalawat dan salam pada Rasul saw, dan puji pujian pada Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sudah diperbolehkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan untuk mengembalikan kecintaan mereka pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka semua maksud ini tujuannya adalah kebangkitan risalah pada ummat yang dalam ghaflah, maka Imam dan Fuqaha manapun tak akan ada yang mengingkarinya karena jelas jelas merupakan salah satu cara membangkitkan keimanan muslimin, hal semacam ini tak pantas dimungkiri oleh setiap muslimin aqlan wa syar’an (secara logika dan hukum syariah), karena hal ini merupakan hal yang mustahab (yang dicintai), sebagaiman kaidah syariah bahwa “Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib”, semua yang menjadi penyebab kewajiban dengannya maka hukumnya wajib. Contohnya saja bila sebagaimana kita ketahui bahwa menutup aurat dalam shalat hukumnya wajib, dan membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat kita akan melakukan shalat kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus membeli dulu, maka membeli baju hukumnya berubah menjadi wajib, karena perlu dipakai untuk melaksanakan shalat yang wajib.
Contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak, dan membuat kantong baju hukumnya mubah saja, lalu saat akan bepergian kita akan membawa siwak dan baju kita tak berkantong, maka perlulah bagi kita membuat kantong baju untuk menaruh siwak, maka membuat kantong baju di pakaian kita menjadi sunnat hukumnya, karena diperlukan untuk menaruh siwak yang hukumnya sunnat.
Maka perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diadakan untuk Medan Tabligh dan Dakwah, dan dakwah merupakan hal yang wajib pada suatu kaum bila dalam kemungkaran, dan ummat sudah tak perduli dengan Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam, tak pula perduli apalagi mencintai sang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan rindu pada sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, dan untuk mencapai tablig ini adalah dengan perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka perayaan maulid ini menjadi wajib, karena menjadi perantara Tablig dan dakwah serta pengenalan sejarah sang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta silaturahmi. Sebagaimana penulisan Al Qur’an yang merupakan hal yang tak perlu dizaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun menjadi sunnah hukumnya di masa para sahabat karena sahabat mulai banyak yang membutuhkan penjelasan Al Qur’an, dan menjadi wajib hukumnya setelah banyaknya para sahabat yang wafat, karena ditakutkan sirnanya Al Qur’an dari ummat, walaupun Allah telah menjelaskan bahwa Al Qur’an telah dijaga oleh Allah. Hal semacam ini telah difahami dan dijelaskan oleh para Khulafa’ur Rasyidin, sahabat radhiyallahu’anhum, Imam dan Muhadditsin, para ulama, fuqaha dan bahkan orang muslimin yang awam, namun hanya sebagian saudara saudara kita muslimin yang masih bersikeras untuk menentangnya, semoga Allah memberi mereka keluasan hati dan kejernihan, amiin.