Selasa, 26 April 2011

Bid'ah


Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam: “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Ad Darimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah.
Perhatikan hadits beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, bukankah beliau saw menganjurkan?, maksudnya bila kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yang membuat kebaikan atas Islam maka perbuatlah.., alangkah indahnya bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak mencekik ummat, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalela kemaksiatan, maka tentunya pastilah diperlukan hal hal yang baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan, demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman, inilah makna ayat : “ALYAUMA AKMALTU LAKUM DIINUKUM…”, yang artinya “hari ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian”, Maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini, semua hal yang baru selama itu baik sudah masuk dalam kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan Rasul Nya, alangkah sempurnanya Islam.
Bila yang dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu salah, karena setelah ayat ini masih ada banyak ayat ayat lain turun, masalah hutang dll, berkata para Mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah Al Mukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim, mulai kejadian turunnya ayat ini maka Musyrikin tidak lagi masuk masjidil haram, maka membuat kebiasaan baru yang baik boleh boleh saja.
Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yang bertentangan dengan syariah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, atau menghalalkan apa apa yang sudah diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau sebaliknya, inilah makna hadits beliau shallallahu ‘alaihi wasallam : “Barangsiapa yang membuat buat hal baru yang berupa keburukan...dan seterusnya”, inilah yang disebut Bid’ah Dhalalah.
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dengan hal yang ada dizaman kehidupan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yang buruk (Bid’ah dhalalah).
Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in.
Siapakah yang pertama memulai Bid’ah hasanah setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Ketika terjadi pembunuhan besar besaran atas para sahabat (Ahlul Yamaamah) yang mereka itu para Huffadh (yang hafal) Al Qur’an dan Ahli Al Qur’an di zaman Khalifah Abubakar Shiddiq radhiyallahu anhu, berkata Abubakar Shiddiq radhiyallahu anhu kepada Zeyd bin Tsabit radhiyallahu anhu : “Sungguh Umar (radhiyallahu anhu) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas Ahlul Yamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlul Qur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Shiddiq radhiyallahu anhu) mengumpulkan dan menulis Al Qur’an, aku berkata : Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah..?, maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (Zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Al Qur’an dan tulislah Al Qur’an..!”
Berkata Zeyd : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Al Qur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”, maka Abubakar radhiyallahu anhu mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga ia pun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Al Qur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768).
Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas Abubakar Shiddiq radhiyallahun anhu mengakui dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”, hatinya jernih menerima hal yang baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Al Qur’an, karena sebelumnya al Qur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah pisah di hafalan sahabat, ada yang tertulis di kulit unta, di tembok, dihafal dan lain-lain, ini adalah Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya.
Kita perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah hasanah mengenai semua bid’ah adalah kesesatan, diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selepas melakukan shalat subuh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menghadap kami dan menyampaikan ceramah yang membuat hati berguncang, dan membuat airmata mengalir.., maka kami berkata : “Wahai Rasulullah.. seakan akan ini adalah wasiat untuk perpisahan…, maka beri wasiatlah kami..” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang Budak Afrika, sungguh diantara kalian yang berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf perbedaan pendapat, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat kuat dengan geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan hati hatilah dengan hal-hal yang baru, sungguh semua yang Bid’ah itu adalah kesesatan”. (Mustadrak Alas Shahihain hadits no.329).
Jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin, dan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperbolehkan hal yang baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin adalah anda lihat sendiri bagaimana Abubakar Shiddiq radhiyallahu anhu dan Umar bin Khattab radhiyallahu anhu menyetujui bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yang baru, yang tidak dilakukan oleh Rasul saw yaitu pembukuan Al Qur’an, lalu pula selesai penulisannya dimasa Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah.
Nah.. sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, Khulafa’ur Rasyidin melakukan bid’ah hasanah, Abubakar Shiddiq radhiyallahu anhu dimasa kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Al Qur’an, lalu kemudian Umar bin Khattab radhiyallahu anhu pula dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata : “Inilah sebaik baik Bid’ah!”(Shahih Bukhari hadits no.1906). lalu pula selesai penulisan Al Qur’an dimasa Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu anhu hingga Al Qur’an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah menghadiri dan menyetujui hal itu.
Demikian pula hal yang dibuat-buat tanpa perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dua kali adzan di Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan dimasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak dimasa Khalifah Abubakar Shiddiq radhiyallahu anhu, tidak pula dimasa Umar bin Khattab radhiyallahu anhu dan baru dilakukan dimasa Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bulkhari hadits no.873).
Siapakah yang salah dan tertuduh?, siapakah yang lebih mengerti larangan Bid’ah?,
adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’ur Rasyidin ini tak faham makna Bid’ah?

Jumat, 22 April 2011

Bid'ah Dhalalah

Jelaslah sudah bahwa mereka yang menolak bid’ah hasanah inilah yang termasuk pada golongan Bid’ah dhalalah, dan Bid’ah dhalalah ini banyak jenisnya, seperti penafikan sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat Khulafa’urrasyidin, nah…diantaranya adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dilakukan oleh Khulafa’urrasyidin, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah jelas jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’urrasyidin, bagaimana Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkan Bid’ah hasanah, sebagaimana sunnah Khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan Bid’ah hasanah, maka penolakan atas hal inilah yang merupakan Bid’ah dhalalah, hal yang telah diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing, melainkan hal itu merupakan ijma/kesepakatan pendapat para Sahabat Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat.
Buku hadits seperti Shahih Bukhari, shahih Muslim dll inipun tak pernah ada perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membukukannya, tak pula Khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Begitu pula Ilmu Musthalahul hadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat
memahami kedudukan derajat hadits, ini semua adalah perbuatan Bid’ah namun Bid’ah Hasanah.
Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas sahabat, tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu di sebut dalam Al-Quran bahwa mereka para sahabat itu diridhoi Allah, namun tak ada dalam Ayat atau hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya, namun karena
kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut. Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas, Lalu muncul pula kini Al-Quran yang di kasetkan, di CD kan, Program Al-Quran di handphone, Al-Quran yang diterjemahkan, ini semua adalah Bid’ah hasanah.
Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya Bid’ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari Al-Quran, untuk selalu membaca Al-Quran, bahkan untuk menghafal Al-Quran dan tidak ada yang memungkirinya.
Sekarang kalau kita menarik mundur kebelakang sejarah Islam, bila Al-Quran tidak dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah Islam ? Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat radhiyallahu anhum ajma’in yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid’ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita masih mengenal Hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi, jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal hal baru yang berupa kebaikan (Bid’ah hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang hal hal baru yang berupa keburukan (Bid’ah dhalalah).
Saudara saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirulmukminin pertama ini, ketahuilah ucapan ucapannya adalah Mutiara Al Qur’an, sosok agung Abubakar Ash Shiddiq radhiyallahu anhu berkata mengenai Bid’ah hasanah : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”.
Lalu berkata pula Zayd bin Haritsah radhiyallahu anhu :”..bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?, maka Abubakar radhiyallahu anhu mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun (Abubakar radhiyallahu anhu) meyakinkanku (Zayd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua”. Maka kuhimbau saudara saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang jernih menerima hal hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abubakar shiddiq radhiyallahu anhu, hati Umar bin Khattab radhiyallahu anhu, hati Zayd bin Haritsah radhiyallahu anhu, hati para sahabat, yaitu hati yang dijernihkan Allah subhanahu wa ta’ala. Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham yang maksudnya berpeganglah erat erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka.
Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat dengan Abubakar Ash Shiddiq radhiyallahu anhu, Umar bin Khattab radhiyallahu anhu, Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah dan seluruh sahabat.. amiin
Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah
1.                   Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i rahimahullah (Imam Syafi’i).
Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab radhiyallahu anhu mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
2.                   Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah.
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafi’i), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi : “seburuk buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
3.                   Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)
“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam : “semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela”. (Syarh An Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yang wajib, Bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang haram.
Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil dalil pada ucapan ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid’ah yang Mubah adalah bermacam macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
4.                   Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman As Suyuthiy rahimahullah
 Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” QS Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) (Syarh As Suyuthiy Juz 3 hal 189). Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati hati darimanakah ilmu mereka?, berdasarkan apa pemahaman mereka?, atau seorang yang disebut imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits?, atau hanya ucapan orang yang tak punya sanad, hanya menukil menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa fatwa para Imam?

Walillahittaufiq

Kamis, 21 April 2011

Hadits Dhaif


Hadits Dhoif adalah hadits yang lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum matannya, mengenai beramal dengan hadits dhaif merupakan hal yang diperbolehkan oleh para Ulama Muhadditsin, Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak sepantasnya kita menafikan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak pembagiannya, Dan telah sepakat jumhur para ulama untuk menerapkan beberapa hukum dengan berlandaskan dengan hadits dhoif, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits Aisyah ra bersama Rasul saw yang Rasul saw menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa berwudhu, hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya sebagai ketentuan hukum thaharah.
Hadits dhoif ini banyak pembagiannya, sebagian ulama mengklasifikasikannya menjadi 81 bagian, adapula yang menjadikannya 49 bagian dan adapula yang memecahnya dalam 42 bagian, namun para Imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan hadits dhoif bila untuk amal shalih, penyemangat, atau manaqib, inilah pendapat yang mu’tamad, namun tentunya bukanlah hadits dhoif yang telah digolongkan kepada hadits palsu.
Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada matannya, tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu dinamai hadits munkar, atau mardud, Batil, maka tidak sepantasnya kita menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan (menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu berarti mendustakan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan hukumnya kufur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : "Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku maka hendaknya ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari hadits no.110), Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pula : "sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari hadits no.1229), Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif berarti mereka melarang sebagian ucapan/sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mendustakan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Wahai saudaraku ketahuilah, bahwa hukum hadits dan Ilmu hadits itu tak ada di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ilmu hadits itu adalah Bid'ah hasanah, baru ada sejak Tabi'in, mereka membuat syarat perawi hadits, mereka membuat kategori periwayat yang hilang dan tak dikenal, namun mereka sangat berhati hati karena mereka mengerti hukum, bila mereka salah walau satu huruf saja, mereka bisa menjebak ummat hingga akhir zaman dalam kekufuran, maka tak sembarang orang menjadi muhaddits, lain dengan mereka ini yang dengan ringan saja melecehkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sebagaimana para pakar hadits bukanlah sebagaimana yang terjadi dimasa kini yang mengaku ngaku sebagai pakar hadits, seorang ahli hadits mestilah telah mencapai derajat Alhafidh, alhafidh dalam para ahli hadits adalah yang telah hafal 100 ribu hadits berikut hukum sanad dan matannya, sedangkan 1 hadits yang bila panjangnya hanya sebaris saja itu bisa menjadi dua halaman bila ditulis berikut hukum sanad dan hukum matannya, lalu bagaimana dengan yang hafal 100 ribu hadits?.
Diatas tingkatan Al Hafidh ini masih adalagi yang disebut Alhujjah, yaitu yang hafal 300 ribu hadits dengan hukum matan dan hukum sanadnya, diatasnya adalagi yang disebut  Hakim, yaitu yang pakar hadits yang sudah melewati derajat Ahafidh dan Alhujjah, dan mereka memahami banyak lagi hadits hadits yang teriwayatkan. (Hasyiah Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Atsqalaniy).
Diatasnya lagi adalah derajat Imam, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal 1 juta hadits dengan sanad dan matannya, dan Ia adalah murid dari Imam Syafii ahimahullah, dan dizaman itu terdapat ratusan Imam imam pakar hadits. Perlu diketahui bahwa Imam Syafii ini lahir jauh sebelum Imam Bukhari, Imam Syafii ahir pada th 150 Hijriyah dan wafat pada th 204 Hijriyah, sedangkan Imam Bukhari lahir pada th 194 Hijriyah dan wafat pada 256 Hijriyah, maka sebagaimana sebagian elompok banyak yang meremehkan Imam syafii, dan menjatuhkan fatwa fatwa Imam syafii dengan berdalilkan shahih Bukhari, maka hal ini salah besar, karena Imam Syafii udah menjadi Imam sebelum usianya mencapai 40 tahun, maka ia telah menjadi Imam besar sebelum Imam Bukhari lahir ke dunia.
Lalu bagaimana dengan saudara saudara kita masa kini yang mengeluarkan fatwa dan pendapat kepada hadits hadits yang diriwayatkan oleh para Imam ini?, mereka menusuk fatwa Imam Syafii, menyalahkan hadits riwayat Imam Imam lainnya, seorang periwayat mengatakan hadits ini dhoif, maka muncul mereka ini memberi fatwa bahwa hadits itu munkar, dari manakah ilmu mereka?, apa yang mereka fahami dari ilmu hadits?, hanya menukil nukil dari beberapa buku saja lalu mereka sudah berani berfatwa, apalagi bila mereka yang hanya menukil dari buku buku terjemah, memang boleh boleh saja dijadikan tambahan pengetahuan, namun buku terjemah ini sangat dhoif bila untuk dijadikan dalil.
Saudara saudaraku yang kumuliakan, kita tak bisa berfatwa dengan buku buku, karena buku tak bisa dijadikan rujukan untuk mengalahkan fatwa para Imam terdahulu, bukanlah berarti kita tak boleh membaca buku, namun maksud saya bahwa buku yang ada zaman sekarang ini adalah pedoman paling lemah dibandingkan dengan fatwa-fatwa Imam Imam terdahulu, terlebih lagi apabila yang dijadikan rujukan untuk merubuhkan fatwa para imam adalah buku terjemahan. Sungguh buku buku terjemahan itu telah terperangkap dengan pemahaman si penerjemah, maka bila kita bicara misalnya terjemahan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ini hafal 1 juta hadits, lalu berapa luas pemahaman si penerjemah yang ingin menerjemahkan keluasan ilmu Imam Ahmad dalam terjemahannya?
Bagaimana tidak, sungguh sudah sangat banyak hadits hadits yang sirna masa kini, bila kita melihat satu contoh kecil saja, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1 juta hadits, lalu kemana hadits hadits itu?, Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad haditsnya hanya tertuliskan hingga hadits no.27.688, maka kira kira 970 ribu hadits yang dihafalnya itu tak sempat ditulis…! Lalu bagaimana dengan ratusan Imam dan Huffadh lainnya?, lalu logika kita, berapa juta hadits yang sirna dan tak sempat tertuliskan?, mengapa?
Tentunya dimasa itu tak semudah sekarang, kitab mereka itu ditulis tangan, bayangkan saja seorang Imam besar yang menghadapi ribuan murid2nya, menghadapi ratusan pertanyaan setiap harinya, banyak beribadah dimalam hari, harus pula menyempatkan waktu menulis hadits dengan pena bulu ayam dengan tinta cair ditengah redupnya cahaya lilin atau lentera, atau hadits hadits itu ditulis oleh murid2nya dengan mungkin10 hadits yang ia dengar hanya hafal 1 atau 2 hadits saja karena setiap hadits menjadi sangat panjang bila dengan riwayat sanad, hukum sanad, dan mustanadnya.
Bayangkan betapa sulitnya perluasan ilmu saat itu, mereka tak ada surat kabar, tak ada telepon, tak ada internet, bahkan barangkali pos jasa surat pun belum ada, tak ada pula percetakan buku, fotocopy atau buku yang diperjualbelikan. Penyebaran ilmu dimasa itu adalah dengan ucapan dari guru kepada muridnya (talaqqiy), dan saat itu buku hanyalah 1% saja atau kurang dibanding ilmu yang ada pada mereka.
Lalu murid mereka mungkin tak mampu menghafal hadits seperti gurunya, namun paling tidak ia melihat tingkah laku gurunya, dan mereka itu adalah kaum shalihin, suci dari kejahatan syariah, karena di masa itu seorang yang menyeleweng dari syariah akan segera diketahui karena banyaknya ulama.
Oleh sebab itu sanad guru jauh lebih kuat daripada pedoman buku, karena guru itu berjumpa dengan gurunya, melihat gurunya, menyaksikan ibadahnya, sebagaimana ibadah yang tertulis di buku, mereka tak hanya membaca, tapi melihat langsung dari gurunya, maka selayaknya kita tidak berguru kepada sembarang guru, kita mesti selektif dalam mencari guru, karena bila gurumu salah maka ibadahmu salah pula.
Maka hendaknya kita memilih guru yang mempunyai sanad silsilah guru, yaitu ia mempunyai riwayat guru guru yang bersambung hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hingga kini kita ahlussunnah waljamaah lebih berpegang kepada silsilah guru daripada buku buku, walaupun kita masih merujuk pada buku dan kitab, namun kita tak berpedoman penuh pada buku semata, kita berpedoman kepada guru guru yang bersambung sanadnya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ataupun kita berpegang pada buku yang penulisnya mempunyai sanad guru hingga nabi saw.
Maka bila misalnya kita menemukan ucapan Imam Syafii, dan Imam Syafii tak sebutkan dalilnya, apakah kita mendustakannya?, cukuplah sosok Imam Syafii yang demikian mulia dan tinggi pemahaman ilmu syariahnya, lalu ucapan fatwa fatwanya itu diteliti dan dilewati oleh ratusan murid2nya dan ratusan Imam sesudah beliau, maka itu sebagai dalil atas jawabannya bahwa ia mustahil mengada ada dan membuat buat hukum semaunya.
Maka muncullah dimasa kini pendapat pendapat dari beberapa saudara kita yang membaca satu dua buku, lalu berfatwa bahwa ucapan Imam Syafii Dhoif, ucapan Imam hakim dhoif, hadits ini munkar, hadits itu palsu, hadits ini batil, hadits itu mardud, atau berfatwa dengan semaunya dan fatwa fatwa mereka itu tak ada para Imam dan Muhaddits yang menelusurinya sebagaimana Imam imam terdahulu yang bila fatwanya salah maka sudah diluruskan oleh imam imam berikutnya. Sebagaimana berkata Imam Syafii : “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar digelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433), berkata pula Imam Ats Tsauri : “Sanad adalah senjata orang mukmin, maka bila kau tak punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?”, berkata pula Imam Ibnul Mubarak : “Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433)
Semakin dangkal ilmu seseorang, maka tentunya ia semakin mudah berfatwa dan menghukumi, semakin ahli dan tingginya ilmu seseorang, maka semakin ia berhati hati dalam berfatwa dan tidak ceroboh dalam menghukumi. Maka fahamlah kita, bahwa mereka mereka yang segera menafikan / menghapus
hadits dhoif maka mereka itulah yang dangkal pemahaman haditsnya, mereka tak tahu mana hadits dhoif yang palsu dan mana hadits dhoif yang masih tsiqah untuk diamalkan, contohnya hadits dhoif yang periwayatnya maqthu’ (terputus), maka dihukumi dhoif, tapi makna haditsnya misalnya keutamaan suatu amal, maka para Muhaddits akan melihat para perawinya, bila para perawinya orang orang yang shahih, tsiqah, apalagi ulama hadits, maka hadits itu diterima walau tetap dhoif, namun boleh diamalkan karena perawinya orang orang terpercaya, Cuma satu saja yang hilang, dan yang lainnya diakui kejujurannya, maka mustahil mereka dusta atas hadits Rasul saw, namun tetap dihukumi dhoif, dan masih banyak lagi contoh contoh lainnya, Masya Allah dari gelapnya kebodohan.. sebagaimana ucapan para ulama salaf : “dalam kebodohan itu adalah kematian sebelum kematian, dan tubuh mereka telah terkubur (oleh dosa dan kebodohan) sebelum dikuburkan”.
Walillahittaufiq

Rabu, 20 April 2011

Maulid Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam


Ketika kita membaca kalimat diatas maka didalam hati kita sudah tersirat bahwa kalimat ini akan langsung membuat alergi bagi sebagian kelompok muslimin, saya akan meringkas penjelasannya secara ‘Aqlan wa syar’an, (logika dan syariah). Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu yang membuat mereka gembira, apakah keberhasilan, kemenangan, kekayaan atau lainnya, mereka merayakannya dengan pesta, mabuk mabukan, berjoget bersama, wayang, lenong atau bentuk pelampiasan kegembiraan lainnya, demikian adat istiadat diseluruh dunia. Sampai disini saya jelaskan dulu bagaimana kegembiraan atas kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah merayakan hari kelahiran para Nabi Nya
Firman Allah : “(Isa berkata dari dalam perut ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari kelahiranku, dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan” (QS Maryam 33)
Firman Allah : “Salam Sejahtera dari kami (untuk Yahya as) dihari kelahirannya, dan hari wafatnya dan hari ia dibangkitkan” (QS Maryam 15) Rasul saw lahir dengan keadaan sudah dikhitan (Al Mustadrak ala Shahihain hadits no.4177)
Berkata Utsman bin Abil Ash Asstaqafiy dari ibunya yang menjadi pembantunya Aminah radhiyallahu anha bunda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika Bunda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mulai saat saat melahirkan, ia (ibu Utsman) melihat bintang bintang mendekat hingga ia takut berjatuhan diatas kepalanya, lalu ia melihat cahaya terang benderang keluar dari Bunda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga membuat terang benderangnya kamar dan rumah (Fathul Bari Al Masyhur juz 6 hal 583)
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lahir kemuka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam). Riwayat shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat melahirkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat cahaya yang terang benderang hingga pandangannya menembus dan melihat Istana Istana Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)
Malam kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14 buah jendela besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yang 1000 tahun tak pernah padam. (Fathul Bari Al Masyhur juz 6 hal 583). Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala?, kejadian kejadian besar ini muncul menandakan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan Allah subhanahu wa ta’ala telah merayakan kelahiran Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Alam ini, sebagaimana Dia subhanahu wa ta’ala telah pula membuat salam sejahtera pada kelahiran Nabi nabi sebelumnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memuliakan hari kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Itu adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits no.1162). dari hadits ini sebagian saudara2 kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam asal dengan puasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jelas jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tak menjawab misalnya : “oh puasa hari senin itu mulia dan boleh boleh saja..”, namun beliau bersabda : “itu adalah hari kelahiranku”, menunjukkan bagi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam hari kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ada nilai tambah dari hari hari lainnya. Contoh mudah misalnya zeyd bertanya pada amir : “bagaimana kalau kita berangkat umroh pada 1 Januari?”, maka amir menjawab : “oh itu hari kelahiran saya”. Nah.. bukankah jelas jelas bahwa zeyd memahami bahwa 1 januari adalah hari yang berbeda dari hari hari lainnya bagi amir?, dan amir menyatakan dengan jelas bahwa 1 januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yang perhatian pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dengan hari kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut nyebut bahwa 1 januari adalah hari kelahirannya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tak memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya, pertanyaan sahabat ini berbeda maksud dengan jawaban beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang lebih luas dari sekedar pertanyaannya, sebagaimana contoh diatas, Amir tak mmerintahkan umroh pada 1 januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yang berpendapat bahwa boleh merayakan maulid hanya dengan puasa saja maka tentunya dari dangkalnya pemahaman terhadap ilmu bahasa.
Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak?, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab : hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ada nilai tambah pada pribadi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu. Maka jelaslah sudah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk yang perhatian pada hari kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam.
Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Berkata Abbas bin Abdulmuttalib radhiyallahu anhu : “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, maka Abbas radhiyallahu anhu memuji dengan syair yang panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala Shahihain hadits no.5417)
Kasih sayang Allah atas kafir yang gembira atas kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Mutthalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan Abbas bertanya padanya : “bagaimana keadaanmu?”, Abu Lahab menjawab : “dineraka, Cuma diringankan siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) ” (Shahih Bukhari hadits no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.13701, Syi’bul Iman no.281, Fathul Baari Al Masyhur juz 11 hal 431). Walaupun kafir terjahat ini dibantai di alam barzakh, namun tentunya Allah berhak menambah siksanya atau menguranginya menurut kehendak Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah menguranginya setiap hari senin karena telah gembira dengan kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membebaskan budaknya.
Walaupun mimpi tak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun
mimpi dapat dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah dan lainnya, misalnya mimpi orang kafir atas kebangkitan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas kebangkitan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Imam Imam diatas yang meriwayatkan hal itu tentunya menjadi hujjah bagi kita bahwa hal itu benar adanya, karena diakui oleh Imam Imam dan mereka tak mengingkarinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperbolehkan Syair pujian di masjid Hassan bin Tsabit radhiyallahu anhu membaca syair di Masjid Nabawiy yang lalu ditegur oleh Umar radhiyallahu anhu, lalu Hassan berkata : “aku sudah baca syair nasyidah disini dihadapan orang yang lebih mulia dari engkau wahai Umar (yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), lalu Hassan berpaling pada Abu Hurairah radhiyallahu anhu dan berkata : “bukankah kau dengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab syairku dengan doa : wahai Allah bantulah ia dengan ruhulqudus?, maka Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata : “betul” (shahih Bukhari hadits no.3040, Shahih Muslim hadits no.2485)
Ini menunjukkan bahwa pembacaan Syair di masjid tidak semuanya haram, sebagaimana beberapa hadits shahih yang menjelaskan larangan syair di masjid, namun jelaslah bahwa yang dilarang adalah syair syair yang membawa pada Ghaflah, pada keduniawian, namun syair syair yang memuji Allah dan Rasul Nya maka hal itu diperbolehkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan dipuji dan didoakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana riwayat diatas, dan masih banyak riwayat lain sebagaimana dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendirikan mimbar khusus untuk hassan bin tsabit di masjid agar ia berdiri untuk melantunkan syair syairnya (Mustadrak ala Shahihain hadits no.6058, Sunan At Tirmidzi hadits no.2846) oleh Aisyah radhiyallahu anha, bahwa ketika ada beberapa sahabat yang mengecam Hassan bin Tsabit radhiyallahu anhu, maka Aisyah radhiyallahu anha berkata : “Jangan kalian caci Hassan, sungguh ia itu selalu membanggakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”(Musnad Abu Ya’la Juz 8 hal 337).
Pendapat Para Imam dan Muhaddits atas perayaan Maulid
1.       Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah :
Telah jelas dan kuat riwayat yang sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yang berpuasa hari Asyura (10 Muharram), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya maka mereka berkata : “hari ini hari ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah subhanahu wa ta’ala, maka bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “kita lebih berhak atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yang diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dengan pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Al Qur’an, maka nikmat apalagi yang melebihi kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman Allah subhanahu wa ta’ala “SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN ANUGERAH PADA ORANG ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA RASUL DARI MEREKA” (QS Al Imran 164)
2.    Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin As Suyuthi rahimahullah :
Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berakikah untuk dirinya setelah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis no.1832 dengan sanad shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300), dan telah diriwayatkan bahwa telah ber Akikah untuknya kakeknya Abdul Muttalib saat usia beliau shallallahu ‘alaihi wasallam 7 tahun, dan akikah tak mungkin diperbuat dua kali, maka jelaslah bahwa akikah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang telah membangkitkan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan membawa Syariah utk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengumpulkan teman teman dan saudara saudara, menjamu dengan makanan makanan dan yang serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. Bbahkan Imam As Suyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid dengan nama : “Husnulmaqshad fii ‘amalilmaulid”.
3. Pendapat Imam Al Hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) : Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan membangkitkan rasa cinta pada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, dan bersyukur kepada Allah dengan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
4. Pendapat Imamul Qurra’ Al Hafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif. Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu?, ia menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (shallallahu ‘alaihi wasallam)” (shahih Bukhari). Maka apabila Abu Lahab Kafir yang Al Qur’an turun mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka bagaimana dengan muslim ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang gembira atas kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?, maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh sungguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya.
5. Pendapat Imam Al Hafidh Syamsuddin bin Nashiruddin Ad Dimasyqiy dalam kitabnya Mauridusshaadiy fii maulidil Haadiy : Serupa dengan ucapan Imamul Qurra’ Al Hafidh Syamsuddin Aljuzri, yaitu menukil hadits Abu Lahab
6. Pendapat Imam Al Hafidh As Sakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah. Berkata ”tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat Islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pada malamnya dengan berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yang sangat besar”.
7. Imam Al Hafidh Ibn Abidin rahimahullah. Dalam syarahnya maulid Ibn Hajar berkata : ”ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah. Dengan karangan maulidnya yang terkenal ”al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, ”Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakannya”.
9. Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah. Dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al Maktab al Islami berkata: ”Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hari besar”.
10. Imam Al hafidh Al Muhaddis Abul Khattab Umar bin Ali bin Muhammad yang terkenal dengan Ibn Dihyah al Kalbi Dengan karangan maulidnya yang bernama ”Attanwir fi maulid basyir an nadzir
11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri. Dengan maulidnya ”urfu at ta’rif bi maulid assyarif”
12. Imam al Hafidh Ibn Katsir. Yang karangan kitab maulidnya dikenal dengan nama : ”maulid ibn katsir”
13. Imam Al Hafidh Al ’Iraqy. Dengan maulidnya ”maurid al hana fi maulid assana”
14. Imam Al Hafidh Nasruddin Ad Dimasyqiy. Telah mengarang beberapa maulid : Jaami’ al astar fi maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al lafad arra’iq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi maulid al hadi.
15. Imam as Syakhawiy. Dengan maulidnya al fajr al ulwi fi maulid an nabawi.
16. Al Allamah al Faqih Ali Zainal Abidin As Syamhudi. Dengan maulidnya al mawarid al haniah fi maulid khairil bariyyah
17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As Syaibaniy yang terkenal dengan ibn diba’ Dengan maulidnya ad diba’i
18. Imam ibn Hajar al Haitsami. Dengan maulidnya itmam anni’mah alal alam bi maulid syayidi waladu adam.
19. Imam Ibrahim Baajuri. Mengarang hasiah atas maulid ibn hajar dengan nama tuhfa al basyar ala maulid ibn Hajar
20. Al Allamah Ali Al Qari’. Dengan maulidnya maurud arrowi fi maulid nabawi
21. Al Allamah al Muhaddits Ja’far bin Hasan Al barzanji. Dengan maulidnya yang terkenal maulid barzanji
23. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Jakfar al Kattani. Dengan maulid Al yaman wal is’ad bi maulid khair al ibad
24. Al Allamah Syeikh Yusuf bin ismail An Nabhaniy. Dengan maulid jawahir an nadmu al badi’ fi maulid as syafi’
25. Imam Ibrahim Assyaibaniy. Dengan maulid al maulid mustofa adnaani
26. Imam Abdulghaniy Annanablisiy. Dengan maulid Al Alam Al Ahmadi fi maulid muhammadi”
27. Syihabuddin Al Halwani. Dengan maulid fath al latif fi syarah maulid assyarif
28. Imam Ahmad bin Muhammad Addimyati. Dengan maulid Al Kaukab al azhar alal ‘iqdu al jauhar fi maulid nadi al azhar
29. Asy Syeikh Ali At Tanthowiy. Dengan maulid nur as shofa’ fi maulid al mustofa
30. As Syeikh Muhammad Al Maghribi. Dengan maulid at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah. Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yang menentang dan melarang hal ini, mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yang menentang maulid sebagaimana disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya menggunting dan memotong ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yang jelas jelas meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam.
Berdiri saat Mahal Qiyam dalam pembacaan Maulid Mengenai berdiri saat maulid ini, merupakan Qiyas dari menyambut kedatangan Islam dan Syariah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, dan menunjukkan semangat atas kedatangan sang pembawa risalah pada kehidupan kita, hal ini lumrah saja, sebagaimana penghormatan yang dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah berdiri, sebagaimana diriwayatkan ketika sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu anhu datang maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada kaum anshar : “Berdirilah untuk tuan kalian” (shahih Bukhari hadits no.2878, Shahih Muslim hadits no.1768), demikian pula berdirinya Thalhah radhiyallahu anhu untuk Ka’b bin Malik radhiyallahu anhu. Memang mengenai berdiri penghormatan ini ada ikhtilaf ulama, sebagaimana yang dijelaskan bahwa berkata Imam Al Khattabiy bahwa berdirinya bawahan untuk majikannya, juga berdirinya murid untuk kedatangan gurunya, dan berdiri untuk kedatangan Imam yang adil dan yang semacamnya merupakan hal yang baik, dan berkata Imam Bukhari bahwa yang dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yang duduk, dan Imam Nawawi yang berpendapat bila berdiri untuk penghargaan maka tak apa apa, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri untuk kedatangan putrinya Fathimah radhiyallahu anha saat ia datang, namun adapula pendapat lain yang melarang berdiri untuk penghormatan.(Rujuk Fathul Baari Al Masyhur Juz 11 dan Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim juz 12 hal 93)
Namun dari semua pendapat itu, tentulah berdiri saat mahal qiyam dalam membaca maulid itu tak ada hubungan apa apa dengan semua perselisihan itu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak dhohir dalam pembacaan maulid itu, lepas dari anggapan ruh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hadir saat pembacaan maulid, itu bukan pembahasan kita, masalah seperti itu adalah masalah ghaib yang tak bisa disyarahkan dengan hukum dhohir, semua ucapan diatas adalah perbedaan pendapat mengenai berdiri penghormatan yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melarang agar sahabat tak berdiri untuk memuliakan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Jauh berbeda bila kita yang berdiri penghormatan mengingat jasa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, tak terikat dengan beliau hadir atau tidak, bahwa berdiri kita adalah bentuk semangat kita menyambut risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan penghormatan kita kepada kedatangan Islam, dan kerinduan kita pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana kita bersalam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setiap kita shalat pun kita tak melihat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Diriwayatkan bahwa Imam Al Hafidh Taqiyuddin As Subkiy rahimahullah, seorang Imam Besar dan terkemuka dizamannya bahwa ia berkumpul bersama para Muhaddits dan Imam Imam besar dizamannya dalam perkumpulan yang padanya dibacakan puji pujian untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu diantara syair syair itu merekapun seraya berdiri termasuk Imam As Subkiy dan seluruh Imam imam yang hadir bersamanya, dan didapatkan kesejukan yang luhur dan cukuplah perbuatan mereka itu sebagai panutan, dan berkata Imam Ibn Hajar Al Haitsamiy rahimahullah bahwa Bid’ah hasanah sudah menjadi kesepakatan para Imam bahwa itu merupakan hal yang sunnah, (berlandaskan hadist Shahih Muslim no.1017 yang terncantum pada Bab Bid’ah) yaitu bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, dan mengadakan maulid itu adalah salah satu Bid’ah hasanah,
Dan berkata pula Imam As Sakhawiy rahimahullah bahwa mulai abad ketiga hijriyah mulailah hal ini dirayakan dengan banyak sedekah dan perayaan agung ini diseluruh dunia dan membawa keberkahan bagi mereka yang mengadakannya. (Sirah Al Halabiyah Juz 1 hal 137). Pada hakekatnya, perayaan maulid ini bertujuan mengumpulkan muslimin untuk Medan Tablig dan bersilaturahmi sekaligus mendengarkan ceramah islami yang diselingi bershalawat dan salam pada Rasul saw, dan puji pujian pada Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sudah diperbolehkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan untuk mengembalikan kecintaan mereka pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka semua maksud ini tujuannya adalah kebangkitan risalah pada ummat yang dalam ghaflah, maka Imam dan Fuqaha manapun tak akan ada yang mengingkarinya karena jelas jelas merupakan salah satu cara membangkitkan keimanan muslimin, hal semacam ini tak pantas dimungkiri oleh setiap muslimin aqlan wa syar’an (secara logika dan hukum syariah), karena hal ini merupakan hal yang mustahab (yang dicintai), sebagaiman kaidah syariah bahwa “Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib”, semua yang menjadi penyebab kewajiban dengannya maka hukumnya wajib. Contohnya saja bila sebagaimana kita ketahui bahwa menutup aurat dalam shalat hukumnya wajib, dan membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat kita akan melakukan shalat kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus membeli dulu, maka membeli baju hukumnya berubah menjadi wajib, karena perlu dipakai untuk melaksanakan shalat yang wajib.
Contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak, dan membuat kantong baju hukumnya mubah saja, lalu saat akan bepergian kita akan membawa siwak dan baju kita tak berkantong, maka perlulah bagi kita membuat kantong baju untuk menaruh siwak, maka membuat kantong baju di pakaian kita menjadi sunnat hukumnya, karena diperlukan untuk menaruh siwak yang hukumnya sunnat.
Maka perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diadakan untuk Medan Tabligh dan Dakwah, dan dakwah merupakan hal yang wajib pada suatu kaum bila dalam kemungkaran, dan ummat sudah tak perduli dengan Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam, tak pula perduli apalagi mencintai sang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan rindu pada sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, dan untuk mencapai tablig ini adalah dengan perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka perayaan maulid ini menjadi wajib, karena menjadi perantara Tablig dan dakwah serta pengenalan sejarah sang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta silaturahmi. Sebagaimana penulisan Al Qur’an yang merupakan hal yang tak perlu dizaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun menjadi sunnah hukumnya di masa para sahabat karena sahabat mulai banyak yang membutuhkan penjelasan Al Qur’an, dan menjadi wajib hukumnya setelah banyaknya para sahabat yang wafat, karena ditakutkan sirnanya Al Qur’an dari ummat, walaupun Allah telah menjelaskan bahwa Al Qur’an telah dijaga oleh Allah. Hal semacam ini telah difahami dan dijelaskan oleh para Khulafa’ur Rasyidin, sahabat radhiyallahu’anhum, Imam dan Muhadditsin, para ulama, fuqaha dan bahkan orang muslimin yang awam, namun hanya sebagian saudara saudara kita muslimin yang masih bersikeras untuk menentangnya, semoga Allah memberi mereka keluasan hati dan kejernihan, amiin.

Ayat Tasbih


Mengenai ayat mutasyabih yang sebenarnya para Imam dan Muhadditsin selalu berusaha menghindari untuk membahasnya, namun justru sangat digandrungi oleh sebagian kelompok muslimin sesat masa kini, mereka selalu mencoba menusuk kepada jantung tauhid yang sedikit saja salah memahami maka akan terjatuh dalam jurang kemusyrikan, seperti membahas bahwa Allah ada dilangit, mempunyai tangan, wajah dan lain-lain yang hanya membuat kerancuan dalam kesucian Tauhid Ilahi pada benak muslimin, akan tetapi karena semaraknya masalah ini diangkat ke permukaan, maka perlu kita perjelas mengenai ayat ayat dan hadits tersebut.
Sebagaimana makna Istiwa, yang sebagian kaum muslimin sesat sangat gemar membahasnya dan mengatakan bahwa Allah itu bersemayam di Arsy, dengan menafsirkan kalimat ”ISTIWA” dengan makna ”BERSEMAYAM atau ADA DI SUATU TEMPAT”, entah darimana pula mereka menemukan makna kalimat Istawa adalah semayam, padahal tak mungkin kita katakan bahwa Allah itu bersemayam disuatu tempat, karena bertentangan dengan ayat ayat dan Nash hadits lain, bila kita mengatakan Allah ada di Arsy, maka dimana Allah sebelum Arsy itu ada?, dan berarti Allah membutuhkan ruang, berarti berwujud seperti makhluk, sedangkan dalam hadits qudsiy disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala turun kelangit yang terendah saat sepertiga malam terakhir, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim hadits no.758, sedangkan kita memahami bahwa waktu di permukaan bumi terus bergilir, Maka bila disuatu tempat adalah tengah malam, maka waktu tengah malam itu tidak sirna, tapi terus berpindah ke arah barat dan terus ke yang lebih barat, tentulah berarti Allah itu selalu bergelantungan mengitari Bumi di langit yang terendah, maka semakin ranculah pemahaman ini, dan menunjukkan rapuhnya pemahaman mereka, jelaslah bahwa hujjah yang mengatakan Allah ada di Arsy telah bertentangan dengan hadits qudsiy diatas, yang berarti Allah itu tetap di langit yang terendah dan tak pernah kembali ke Arsy, sedangkan ayat itu mengatakan bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits Qudsiy mengatakan Allah dilangit yang terendah.
Berkata Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Malik rahimahullah ketika datang seseorang yang bertanya makna ayat : ”Arrahmaanu ’alal Arsyistawa”, Imam Malik menjawab : ”Majhul, Ma’qul, Imaan bihi wajib, wa su’al ’anhu bid’ah (tidak diketahui maknanya, dan tidak boleh mengatakannya mustahil, percaya akannya wajib, bertanya tentang ini adalah Bid’ah Munkarah), dan kulihat engkau ini orang jahat, keluarkan dia..!”, demikian ucapan Imam Malik pada penanya ini, hingga ia mengatakannya : ”kulihat engkau ini orang jahat”, lalu mengusirnya, tentunya seorang Imam Mulia yang menjadi Muhaddits Tertinggi di Madinah Almunawwarah di masanya yang beliau itu Guru Imam Syafii ini tak sembarang mengatakan ucapan seperti itu, kecuali menjadi dalil bagi kita bahwa hanya orang orang yang tidak baik yang mempermasalahkan masalah ini.
Lalu bagaimana dengan firman Nya : ”Mereka yang berbai’at padamu sungguh mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka” (QS Al Fath 10), dan disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari langit yang turut berbai’at pada sahabat.
Juga sebagaimana hadits qudsiy yang mana Allah berfirman : ”Barangsiapa memusuhi waliku sungguh kuumumkan perang kepadanya, tiadalah hamba Ku mendekat kepada Ku dengan hal hal yang fardhu, dan Hamba Ku terus mendekat kepada Ku dengan hal hal yang sunnah baginya hingga Aku mencintainya, bila Aku mencintainya maka aku menjadi telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, dan menjadi matanya yang ia gunakan untuk melihat, dan menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memerangi, dan kakinya yang ia gunakan untuk melangkah, bila ia meminta pada Ku niscaya kuberi permintaannya....” (shahih Bukhari hadits no.6137) Maka hadits Qudsiy diatas tentunya jelas jelas menunjukkan bahwa pendengaran, penglihatan, dan panca indera lainnya, bagi mereka yang taat pada Allah akan dilimpahi cahaya kemegahan Allah, pertolongan Allah, kekuatan Allah, keberkahan Allah, dan sungguh maknanya bukanlah berarti Allah menjadi telinga, mata, tangan dan kakinya.
Masalah ayat/hadist tasybih (tangan/wajah) dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat/madzhab dalam menafsirkannya, yaitu:
1. Madzhab tafwidh ma’a tanzih
Madzhab ini mengambil dhahir lafadz dan menyerahkan maknanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengan i’tiqad tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan). Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu’minu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna”, (Kita percaya dengan hal itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab inilah yang juga di pegang oleh Imam Abu Hanifah. Dan kini muncullah faham mujjassimah yaitu dhohirnya memegang madzhab tafwidh tapi menyerupakan Allah dengan mahluk, bukan seperti para imam yang memegang madzhab tafwidh.
2. Madzhab takwil
Madzab ini menakwilkan ayat/hadist tasybih sesuai dengan keesaan dan keagungan Allah subhanahu wa ta’ala, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari, Imam Nawawi dan lain-lain. (syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri). Pendapat ini juga terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah, juga banyak dipakai oleh para sahabat, tabiin dan imam imam ahlussunnah waljamaah.
Seperti ayat : ”Nasuullaha fanasiahum” (mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka) (QS Attaubah:67), dan ayat : ”Innaa nasiinaakum”. (sungguh kami telah lupa pada kalian QS Assajdah 14).

Dengan ayat ini kita tidak bisa menyifatkan sifat lupa kepada Allah walaupun tercantum dalam Alqur’an, dan kita tidak boleh mengatakan Allah punya sifat lupa, tapi berbeda dengan sifat lupa pada diri makhluk, karena Allah berfirman : ”dan tiadalah tuhanmu itu lupa” (QS Maryam 64)
Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman : ”Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul ’Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits no.2569)
Apakah kita bisa mensifatkan sakit kepada Allah tapi tidak seperti sakitnya kita? Berkata Imam Nawawi berkenaan hadits Qudsiy diatas dalam kitabnya yaitu Syarah An Nawawiy alaa Shahih Muslim bahwa yang dimaksud sakit pada Allah adalah hamba Nya, dan kemuliaan serta kedekatan Nya pada hamba Nya itu, ”wa ma’na wajadtaniy indahu ya’niy wajadta tsawaabii wa karoomatii indahu” dan makna ucapan : akan kau temui aku disisinya adalah akan kau temui pahalaku dan kedermawanan Ku dengan menjenguknya (Syarh Nawawi ala shahih Muslim Juz 16 hal 125)
Dan banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunnah waljamaah yang berpegang pada pendapat Ta’wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidziy, Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, Imam Ibnul Jauziy dan lain-lain (lihat Daf’ussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy). Maka jelaslah bahwa akal tak akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana firman Nya : ”Maha Suci Tuhan Mu Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan dari apa apa yang mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para Rasul, dan segala puji atas tuhan sekalian alam” . (QS Asshaffat 180-182).

Selasa, 19 April 2011

Tabarruk - Mengambil Keberkahan Dari Bekas atau Tubuh Shalihin

Banyak orang yang keliru memahami makna hakikat tabarruk dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, peninggalan-peninggalannya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan para pewarisnya yakni para ulama, para kyai dan para wali dan shalihin. Walaupun hakekat yang belum mereka pahami, tetapi mereka berani menilai kafir (sesat) atau musyrik terhadap mereka yang bertabarruk pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau ulama. Mengenai azimat (Ruqyyat) dengan huruf arab merupakan hal yang diperbolehkan, selama itu tidak menduakan Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana dijelaskan bahwa azimat dengan tulisan ayat atau doa disebutkan pada kitab Faidhulqadir Juz 3 hal 192, dan Tafsir Imam Qurtubi Juz 10 hal.316/317, dan masih banyak lagi penjelasan para Muhadditsin mengenai diperbolehkannya hal tersebut, karena itu semata mata adalah bertabarruk (mengambil berkah) dari ayat ayat Alqur’an. Mengenai benda-benda keramat, maka ini perlu penjelasan yang sejelas jelasnya, bahwa benda benda keramat itu tak bisa membawa manfaat atau mudharrat, namun mungkin saja digunakan Tabarrukan (mengambil berkah) dari pemiliknya dahulu, misalnya ia seorang yang shalih, maka sebagaimana diriwayatkan : Para sahabat seakan akan hampir saling berkelahi saat berdesakan berebutan air bekas wudhunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (Shahih Bukhari Hadits no. 186), Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa ketika Ya’qub alaihis salam dalam keadaan buta, lalu dilemparkanlah ke wajahnya pakaian Yusuf as, maka iapun melihat, sebagaimana Allah menceritakannya dalam firman Nya subahanahu wa ta’ala : “(Berkata Yusuf alaihis salam pada kakak kakaknya) PERGILAH KALIAN DENGAN BAJUKU INI, LALU LEMPARKAN KEWAJAH AYAHKU, MAKA IA AKAN SEMBUH DARI BUTANYA” (QS Yusuf 93), dan pula ayat : “MAKA KETIKA DATANG PADANYA KABAR GEMBIRA ITU, DAN DILEMPARKAN PADA WAJAHNYA (pakaian Yusuf alaihis salam) MAKA IA (Ya’qub alaihis salam) SEMBUH DARI KEBUTAANNYA” (QS Yusuf 96).
Ini merupakan dalil Alqur’an, bahwa benda/pakaian orang orang shalih dapat menjadi perantara kesembuhan dengan izin Allah tentunya, kita bertanya mengapa Allah sebutkan ayat sedemikian jelasnya?, apa perlunya menyebutkan sorban yusuf dengan ucapannya : “PERGILAH KALIAN DENGAN BAJUKU INI, LALU LEMPARKAN KEWAJAH AYAHKU, MAKA IA AKAN SEMBUH DARI BUTANYA” .

Untuk apa disebutkan masalah baju yang dilemparkan kewajah ayahnya?, agar kita memahami bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memuliakan benda benda yang pernah bersentuhan dengan tubuh hamba hamba Nya yang shalih. kita akan lihat dalil dalil lainnya.
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat maka Asma binti Abubakar shiddiq radhiyallahu anha menjadikan baju beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pengobatan, bila ada yang sakit maka ia mencelupkan baju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu di air lalu air itu diminumkan pada yang sakit (shahih Muslim hadits no.2069).
Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri menjadikan air liur orang mukmin sebagai berkah untuk pengobatan, sebagaimana sabda beliau : “Dengan Nama Allah atas tanah bumi kami, demi air liur sebagian dari kami, sembuhlah yang sakit pada kami, dengan izin tuhan kami” (shahih Bukhari hadits no.5413), ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam: “demi air liur sebagian dari kami” menunjukkan bahwa air liur orang mukmin dapat menyembuhkan penyakit, dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala tentunya, sebagaimana dokter pun dapat menyembuhkan, namun dengan izin Allah pula tentunya, hadits ini menjelaskan bahwa rasul saw bertabarruk dengan air liur mukminin bahkan tanah bumi, menunjukkan bahwa pada hakikatnya seluruh ala mini membawa keberkahan dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Seorang sahabat meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dirumahnya agar kemudian ia akan menjadikan bekas tempat shalat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam itu mushalla dirumahnya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang kerumah orang itu dan bertanya : “dimana tempat yang kau inginkan aku shalat?”. Demikian para sahabat bertabarruk dengan bekas tempat shalatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga dijadikan mushalla (Shahih Bukhari hadits no.1130)

Nabi Musa alaihis salam ketika akan wafat ia meminta didekatkan ke wilayah suci di palestina, menunjukkan bahwa Musa alaihis salam ingin dimakamkan dengan mengambil berkah pada tempat suci (shahih Bukhari hadits no.1274).
Allah memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Umar bin Khattab radhiyallahu anhu yang menjadikan Maqam Ibrahim alaihis salam (bukan makamnya, tetapi tempat Ibrahim alaihis salam berdiri dan berdoa di depan ka’bah yang dinamakan Maqam Ibrahim alaihis salam) sebagai tempat shalat (mushalla), sebagaimana firman Nya : “Dan jadikanlah tempat berdoanya Ibrahim sebagai tempat shalat” (QS Al Imran 97), maka jelaslah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memuliakan tempat hamba hamba Nya berdoa, bahkan Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bertabarruk dengan tempat berdoanya Ibrahim alaihis salam, dan Allah memuji perbuatan itu.
Diriwayatkan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baru saja mendapat hadiah selendang pakaian bagus dari seorang wanita tua, lalu datang pula orang lain yang segera memintanya selagi pakaian itu dipakai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka riuhlah para sahabat lainnya menegur si peminta, maka sahabat itu berkata : “aku memintanya karena mengharapkan keberkahannya ketika dipakai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan kuinginkan untuk kafanku nanti” (Shahih Bukhari hadits no.5689), demikian cintanya para sahabat pada Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam, sampai kain kafanpun mereka ingin yang bekas sentuhan tubuh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallahu anhu ketika ia telah dihadapan sakratulmaut, yaitu sebuah serangan pedang yang merobek perutnya dengan luka yang sangat lebar, beliau tersungkur roboh dan mulai tersengal sengal beliau berkata kepada putranya (Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu), "Pergilah pada ummulmukminin, katakan padanya aku berkirim salam hormat padanya, dan kalau diperbolehkan aku ingin dimakamkan disebelah Makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abubakar radhiyallahu anhu", maka ketika Ummulmukminin telah mengizinkannya maka berkatalah Umar radhiyallahu anhu : "Tidak ada yang lebih kupentingkan daripada mendapat tempat di pembaringan itu” (dimakamkan disamping makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” (Shahih Bukhari hadits no.1328). Dihadapan Umar bin Khattab radhiyallahu anhu Kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempunyai arti yang sangat Agung, hingga kuburannya pun ingin disebelah kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan ia berkata : "Tidak ada yang lebih kupentingkan daripada mendapat tempat di pembaringan itu”
Demikian pula Abubakar shiddiq radhiyallahu anhu, yang saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat maka ia membuka kain penutup wajah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu memeluknya dengan derai tangis seraya menciumi tubuh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata : “Demi ayahku, dan engkau dan ibuku wahai Rasulullah.., Tiada akan Allah jadikan dua kematian atasmu, maka kematian yang telah dituliskan Allah untukmu kini telah kau lewati”. (Shahih Bukhari hadits no.1184, 4187).

Salim bin Abdullah radhiyallahu anhu melakukan shalat sunnah di pinggir sebuah jalan, maka ketika ditanya ia berkata bahwa ayahku shalat sunnah ditempat ini, dan berkata ayahku bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di tempat ini, dan dikatakan bahwa Ibn Umar radhiyallahu anhu pun melakukannya. (Shahih Bukhari hadits no.469). Demikianlah keadaan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bagi mereka tempat-tempat yang pernah disentuh oleh Tubuh Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tetap mulia walau telah diinjak ribuan kaki, mereka mencari keberkahan dengan shalat pula ditempat itu, demikian pengagungan mereka terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam riwayat lainnnya dikatakan kepada Abu Muslim, wahai Abu Muslim, kulihat engkau selalu memaksakan shalat ditempat itu?, maka Abu Muslim radhiyallahu anhu berkata : Kulihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat ditempat ini” (Shahih Bukhari hadits no.480).
Sebagaimana riwayat Sa’ib radhiyallahu anhu, : "aku diajak oleh bibiku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seraya berkata : Wahai Rasulullah.., keponakanku sakit.., maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap kepalaku dan mendoakan keberkahan padaku, lalu beliau berwudhu, lalu aku meminum air dari bekas wudhu beliau saw, lalu aku berdiri dibelakang beliau dan kulihat Tanda Kenabian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam " (Shahih Muslim hadits no.2345).
Riwayat lain ketika dikatakan pada Ubaidah radhiyallahu anhu bahwa kami memiliki rambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ia berkata: “Kalau aku memiliki sehelai rambut beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, maka itu lebih berharga bagiku dari dunia dan segala isinya” (Shahih Bukhari hadits no.168). demikianlah mulianya sehelai rambut Nabi saw dimata sahabat, lebih agung dari dunia dan segala isinya.
Diriwayatkan oleh Abi Jahiifah dari ayahnya, bahwa para sahabat berebutan air bekas wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengusapkannya ke wajah dan kedua tangan mereka, dan mereka yang tak mendapatkannya maka mereka mengusap dari basahan tubuh sahabat lainnya yang sudah terkena bekas air wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu mengusapkan ke wajah dan tangan mereka” (Shahih Bukhari hadits no.369, demikian juga pada Shahih Bukhari hadits no.5521, dan pada Shahih Muslim hadits no.503 dengan riwayat yang banyak).
Diriwayatkan ketika Anas bin Malik radhiyallahu anhu dalam detik detik sakratulmaut ia yang memang telah menyimpan sebuah botol berisi keringat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beberapa helai rambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ketika ia hampir wafat ia berwasiat agar botol itu disertakan bersamanya dalam kafan dan hanut nya (shahih Bukhari hadits no.5925) Tampaknya kalau mereka ini hidup di zaman sekarang, tentulah para sahabat ini sudah dikatakan musyrik, tentu Abubakar sudah dikatakan musyrik karena menangisi dan memeluk tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berbicara pada jenazah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Tentunya umar bin Khattab sudah dikatakan musyrik karena disakratulmaut bukan ingat Allah malah ingat kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tentunya para sahabat sudah dikatakan musyrik dan halal darahnya, karena mengkultuskan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan menganggapnya tuhan sembahan hingga berebutan air bekas wudhunya, mirip dengan kaum nasrani yang berebutan air pastor Nah.. kita boleh menimbang diri kita, apakah kita sejalan dengan sahabat atau kita sejalan dengan generasi sempalan.
Wahai saudaraku, jangan alergi dengan kalimat syirik, syirik itu adalah bagi orang yang berkeyakinan ada Tuhan Lain selain Allah, atau ada yang lebih kuat dari Allah, atau meyakini ada tuhan yang sama dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Inilah makna syirik. Sebagimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam : “Kebekahan adalah pada orang orang tua dan ulama kalian” (Shahih Ibn Hibban hadits no.559) Dikatakan oleh Al hafidh Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy menanggapi hadits yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca mu’awwidzatain lalu meniupkannya ke kedua telapak tangannya, lalu mengusapkannya ke sekujur tubuh yang dapat disentuhnya, hal itu adalah tabarruk dengan nafas dan air liur yang telah dilewati bacaan Alqur’an, sebagaimana tulisan dzikir dzikir yang ditulis dibejana (untuk obat). (Al Jami’usshaghiir Imam Assuyuthiy Juz 1 hal 84 hadits no.104)
Telah dibuktikan pula secara ilmiah oleh salah seorang Profesor Jepang, bahwa air itu berubah wujud bentuknya dengan hanya diucapkan padanya kalimat kalimat tertentu, bila ucapan itu berupa cinta, terimakasih dan ucapan ucapan indah lainnya maka air itu berubah wujudnya menjadi semakin indah, bila diperdengarkan ucapan cacian dan buruk maka air itu berubah menjadi buruk wujud bentuknya, dan bila dituliskan padanya tulisan mulia dan indah seperti terimakasih, syair cinta dan tulisan indah lainnya maka ia menjadi semakin indah wujudnya, bila dituliskan padanya ucapan caci maki dan ucapan buruk lainnya maka ia berubah buruk wujudnya, kesimpulannya bahwa air itu berubah dengan perubahan emosi orang yang didekatnya, apakah berupa tulisan dan perkataan.

Keajaiban alamiah yang baru diketahui masa kini, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat telah memahaminya, mereka bertabarruk dengan air yang menyentuh tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka bertabarruk dengan air doa yang didoakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka hanya mereka mereka kaum muslimin yang rendah pemahamannya dalam syariah inilah yang masih terus menentangnya padahal telah dibuktikan secara dalil shahih dan pula pembuktian ilmiah, menunjukkan pemahaman mereka itulah yang jumud dan terbelakang.
Walillahittaufiq